Di sinilah tempatnya para pembaca baik dari dalam maupun penutur asing menikmati sastra Indonesia, mencari dan berbagi informasi.

Selasa, November 04, 2008

Merah Putih Cinta

*1 Februari 2003, Siang hari*

Matahari begitu panas, menyoroti tubuhku yang sudah
bermandikan keringat. Hari ini kepalaku begitu pening. Banyaknya masalah
disertai beban hidup bersatu dengan panas terik yang menembus kaca jendela
bus dan memantulkannya ke kepalaku, membuat kepala terasa berat bagai
memikul berton-ton besi. Desakan para penumpang bis yang menghimpit tubuhku
menambah kepeningan di kepala. Dari jalan Asrama di Cikarang tadi aku yang
tak kebagian tempat duduk di bis, berdiri sendiri. Bebas menggerakkan kaki
dan dengan mnudah menggelantungkan tangan pada tiang-tiang penyangga yang
panjang membentang di langit-langit atap bis. Namun, beberapa meter
menjelang tol Ci bitung penumpang membludak, tekanan dari samping kanan dan
kiri menggencet tubuhku. Sampai-sampai untuk bernafas pun terasa sulit.

Awal naik bis tadi aku merasa diperhatikan oleh seorang
perempuan berambut pendek. Rambutnya terikat oleh tali rambut berwarna
merahputih, seperti bendera Indonesia. Dia duduk di sebelah pojok kanan.
Lengannya menggenggam buku sementara di kantong kemeja polosnya terselip dua
buah bolpain. Wajahnya tidak terlalu cantik, namun ada inner beauty yang
terpancar di wajahnya. Yang membuat mata tidak bosan untuk terus
memandangnya. Dari fisiknya dapat ditafsirkan kalau perempuan itu seorang
wartawan. Aku buru-buru memalingkan wajahku. Karena bagaimanpun aku tidak
boleh berkenalan dengan seorang wartawan, satu orangpun. Pekerjaanku
mengharuskan untuk jauh-jauh dari wartawan. Mereka dapat menghancurkan
rencana-rencana pekerjaanku yang telah di susun rapi.

Tapi kali ini, aku sudah tidak menghiraukan perempuan itu.
Yang harus aku lakukan sekarang adalah bagaimana caranya agar aku bisa
bernafas secara teratur dan berdiri menyeimbangkan tubuhku dari desakan para
penumpang. Namun otakku yang sudah terlalu pusing tidak mampu untuk
mengendalikan organ-organ tubuhku. Begitu bis berbelok di sebuah tikungan.
Bruk.....Hitam. ...Gelap. ... sunyi tak bersuara....

*1 Februari 2003, Malam hari*

HItam...coklat. ...abu... .kuning.. ..ada setitik cahaya
putih. Perlahan kubuka dua pintu yang menutup kedua bola mataku saat ku
lihat setitik cahaya putih. Begitu rapat daun-daun pintu yang menutup kedua
bolamataku, hingga aku kesulitan untuk membuka mataku yang terkungkung dalam
gelap. Kucoba lagi, sampai akhirnya perlahan-lahan mata ini mulai terbuka
dan kulihat sebuah ruangan yang dipenuhi warna putih. Dan aku? aku terbaring
sendiri di sebuah ranjang yang juga berwarna putih.
"Dimana aku?" Pikirku aneh. Ku dengar suara pintu berdecit, seorang
perempuan masuk ke dalam kamarku. "Ya Tuhan, perempuan wartawan itu.
Sebenarnya apa yang telah terjadi" Gumam bathinku.

Perempuan itu duduk di kursi yang berada di samping kanan
ranjang yang sedang aku tiduri. Dia tersenyum padaku, "Alhamdulillah. Anda
sudah sadar. Anda jatuh pingsan di bis tadi siang. Saya khawatir terjadi
sesuatu, makanya saya bawa anda ke runah sakit ini" Kata perempuan itu.

Seketika ku tatap wajahnya yang memancarkan aura. Kurasakan
kebaikan perempuan yang wajahnya tak pernah bosan untuk di lihat. "Wisnu,
namaku Wisnu. Tepatnya Teuku Wisnu" Ujarku.
"Aku Lina. Tepatnya Herlina Febriyanti" Ujarnya meniru ucapanku, hinggga
membuat mulutku tersenyum.
"Pasti lahir bulan Februari. Dan itu berarti sebentar lagi kamu ulang tahun"
Tanyaku mendengar nama belakangnya, Febriyanti.
"Ya. 14 Februari" Jawabnya sambil memicingkan mata.

Semenjak kejadian itu, aku menjadi dekat dengannya.Bahkan,
Lina menyuruhku untuk menulis cerpen di surat kabarnya. Aku sering
menghabiskan waktu bersamanya, menemani dia mencari berita-berita politik
dan kriminalitas di sekitar Jabotabek. Aku tidak pernah merasa jenuh
bersamanya. Dia adalah perempuan dengan segudang ilmu, berbicara hal apapun
pasti nyambung dengannya. Apalagi ternyata Lina juga seorang yang humoris.
Pernah waktu itu saking kecapeannya mengejar berita tentang sopir-sopir yang
mogok narik angkot karena BBM naik, aku tergeletak di atas rumput hijau di
bawah pohon rindang.
"Apa kalau tidur kamu selalu telentang?" Tanya Lina begitu melihatku tidur
telentang di bawah dedaunan pohon yang rindang.
"Tentu" Aku mengiyakan.
"Besok-besok sekalian aja telen paku, telen palu, atau telen obeng"
Candanya, membuat aku tertawa.

*5 Februari 2003*,

Aku mulai merasakan sesuatu di hatiku. Entahlah perasaan apa
ini. Sebuah perasaan dimana aku mulai merasa kehilangan bila tidak berjumpa
Lina. Sebuah perasaan dimana hati seakan merasa nyaman bila bersamanya.
Seperti pagi hari ini, Lina datang ke rumah kontrakanku untuk meminta
menemaninya ke desa Sindang sari, Bogor. Di desa ini telah terjadi tawuran
pelajar antara STM Penerbangan Bogor dan STM Pelayaran Jakarta. Agak aneh
memang, siswa-siswa STM Pelayaran datang jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk
tawuran. Tawuran ini menyebabkan 11 orang siswa STM Pelayaran tewas ketika
hendak melarikan diri dengan cara menyebrangi Sungai Cisadane. 11 orang
meninggal dikarenakan hanyut dan tenggelam.

Kulihat wajah Lina bercucuran keringat karena bolak-balik
mencari informasi untuk sumber berita. Ia duduk di sebuah bangku kayu,
tangannya tak henti menulis. Ingin kubelai rambut hitamnya yang tergerai,
lalu kusapu keringat di wajahnya dengan kedua tanganku. Namun aku tahu dia
bukan mahramku. Agama melarang aku untuk bersentuhan dengan perempuan yang
bukan muhrim. Dan itu merupakan salah satu cara dari Tuhan untuk menghormati
kaum wanita. Wanita adalah makhluk yang harus dilindungi, bukan untuk di
sentuh seenaknya.

Ku rogoh saputangan dari kantong celanaku. Kugerakkan perlahan
ke arah wajahnya, Lalu ku usap keringat yang membasahi wajahnya tanpa harus
bersentuhan dengannya. Lina tersenyum padaku, "Terima kasih" Ujarnya.
Kurasakan getar-getar cinta yang mulai tumbuh di hatiku saat melihat
senyumannya. Kurasakan berjuta-juta rasa yang masuk ke dalam rongga-rongga
tubuhku. Ku hirup angin yang bertiup mesra yang telah membisikkan untaian
kata-kata cinta ke telingaku.

*10 Februari 2003*

Gawat! Bahaya! Aku sudah melakukan kesalahan! Kesalahan fatal
yang bisa menghancurkan rencana yang telah dibuat. Kesalahan yang disebabkan
oleh diriku sendiri. Sebelumnya sudah pernah kukatakan bahwa aku tidak boleh
berhubungan dengan wartawan atau reporter. Yang lebih parahnya adalah bahwa
aku sudah melakukan kesalahan besar karena mencintai seseorang. Selama ini
aku tidak pernah berkenalan dengan seorang perempuan, pekerjaanku dilakukan
oleh laki-laki. Aku bekerja di sebuah organisasi yang anggotanya semua
laki-laki. Ini pertamakalinya aku mengenal dan dekat dengan seorang
perempuan. Herlina, perempuan berambut pendek yang rambutnya sering di ikat
satu. Aku harus segera meninggalkan dia, aku harus melupakannya. Namun,
mampukah aku? Ya Tuhan, enyahkan wajahnya yang selalu menyelinap ke dalam
pelupuk mataku, biarkan aku melupakannya. Semuanya hanya tinggal empat hari.
Perjalanan empat hari aku menghitung langkah-langkahku di muka bumi. Setelah
itu semuanya akan menghilang. Dan aku pun akan menghilang.

*12 Februari 2003*

"Apa kamu sudah siap?" Tanya ketua organisasi, saat aku dan puluhan orang
lainnya berkumpul di sebuah tempat yang teramat rahasia.
Kubaca secarik kertas yang telah diberikannya kepadaku, "Valentine merah di
atas rel, untukmu putih". Kuanggukkan kepalaku, "Aku siap" Jawabku.
Lalu semua orang di ruangan ini menyalami dan memelukku. Malah ada beberapa
orang yang menangis sambil merangkulku.

*
13 Februari 2003*

Hari ini, aku tak menyangka Lina akan datang ke rumah
kontrakanku. Saat dia datang aku sedang mandi.
"Valentine merah di atas rel untukmu putih" Ku dengar suara Lina di luar
kamar mandi. "Ini tulisan kamu yang baru ya, Wisnu. Judulnya agak aneh,
pasti kamu akan menulis cerita baru yang berbeda dari cerpen-cerpen kamu
sebelumnya. Ya, kan?" Suaranya agak berteriak.

Seketika ku ingat surat-suratku yang belum kubereskan di
atas meja. Aku segera memakai baju dan keluar dari kamar mandi. Kulihat Lina
yang berdiri mematung menatapku.

"Apa ini!" Tanyanya sedikit gugup sambil memperlihatkan secarik kertas putih
di tangannya. Aku diam. "Untuk apa ini?!" Lina memperkeras suaranya. tatapan
matanya seakan membenciku. "Apa kamu akan menghancurkan negaramu sendiri?
Bagaimana mungkin kamu tergabung dalam sindikat terorisme!".
"Untuk menagih janji!" Jawabku.
"Janji apa? Janji yang mana?"
"Wallah, Billah, daerah Aceh nanti akan di beri hak untuk menyusun rumah
tangganya sendiri sesuai syariat Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya
agar rakyat Aceh bisa benar-benar dapat melaksanakan syariat Islam. Apakah
Kakak masih ragu?" Kuucapkan sebuah kalimat yang sering ku dengar dan sering
ku baca, "Kata-kata itulah yang diucapkan Soekarno sambil terisak di bahu
Daud Beureuh yang dia panggil kakak. Iba dan isak tangisnya berhasil
meluluhkan hati sang Abu Jihad agar bersedia membantu perjuangan
kemerdekaan, imbalannya syariat Islam akan diterapkan di tanah Aceh. Tapi
setelah Indonesia merdeka? janji tinggal janji, penerapan syariat Islam di
Aceh pun tinggal mimpi. Airmata yang diteteskan ternyata hanya pelengkap
sandiwara belaka! Dan aku ingin menagih janji itu!" Ujarku.
"Dengan cara menghancurkan negaramu? Dengan cara membunuh banyak orang?"
Mata Lina jalang menatapku. "Kesalahan yang telah dilakukan oleh satu orang
kalian limpahkan pada banyak orang yang tak berdosa, yang tidak tahu menahu
persoalannya" .
"Janji itu harus ditepati, Lina. Dan aku yakin, aku berada di jalan yang
benar".
"Benar! Apanya yang benar? Apabila ayahmu berbuat salah padaku, apakah aku
juga harus membunuh ibumu? Membunuh kamu? Atau mungkin membunuh anak-anakmu?
Tidak kan. Ajaran Rasulullah tidak seperti itu, Wisnu. Islam tidak seperti
itu. Jangankan membunuh manusia-manusia yang tak berdosa, bahkan Nabi
Sulaiman menyuruh pasukannya untuk tidak menginjak semut. Islam itu penuh
cinta. Apa yang kamu lakukan salah, Wisnu" Ujar Lina yang terus menasehatiku
hingga kepalaku serasa bercabang, hampir tidak bisa membedakan mana yang
benar dan yang mana yang salah. Kata-kata Lina beradu dengan emosi yang
sudah memuncak di otakku, membuat kepalaku menjadi sakit. Seketika kurasakan
darah bergejolak dalam tubuhku.
"CUKUP!!! KELUAR KAMU!!!" Teriakku kasar.

Lina langsung diam, bungkam. Selama ini dia mengenalku sebagai laki-laki
berambut ikal dengan sikap yang lembut, dia tidak pernah melihatku marah.
Tapi hari ini? hari ini dia telah melihatku sebagai laki-laki yang
berperangai kasar.
"Apa kamu tidak mendengar! Aku bilang KELUAR!! Jengah aku mendengar
ucapan-ucapanmu! !!" Ujarku dengan sangat kasarnya.
Kulihat airmata mengalir diantara kedua mata Lina.
"Hancurkan ego dan perasaan jahat dalam dirimu dengan menggunakan cinta,
Wisnu" Ucap Lina dengan suara terisak, "Dan aku mencintaimu Wisnu" Ungkapnya
sambil berjalan meninggalkanku.
Kata-kata cinta yang diucapkannya padaku masih terngiang di telingaku,
bahkan mampu menyejukkan telinga ini.
"Cinta, cinta, cinta" Kata itu mampu mendinginkan otakku yang sedang panas.
Haruskah kukatakan "Ya" untuk cinta, dan "Tidak" untuk teroris. Tapi kenapa
aku dikatakan teroris? Aku meneror untuk sebuah janji.

*14 Februari 2003, Pagi hari di kantor Herlina.*

"Lin, kamu ke Bogor, ya? Hari ini turis-turis asing akan berkunjung ke sana.
Mereka kumpul di stasiun Kota Jakarta. Mereka akan melakukan perjalanan ke
Bogor dengan menggunakan Kereta" Perintah Bu Dewi, atasan Lina.
"Bogor kan luas?" Tanya Lina.
"Kunjungan pertama ke Kebun Raya Bogor, selanjutnya ke rumah kupu-kupu di
Curug Cilember, lalu ke Taman Matahari, Kemudian ke Gunung Mas di Puncak.
Nanti ibu kasih denahnya. Agak aneh memang, orang-orang kulit putih itu
melakukan perjalanan ke Bogor di atas rel pada hari valentine. Padahal
mereka kan bisa menyewa mobil. Tapi mungkin mereka ingin merasakan megahnya
kereta api di Indonesia" Ujar bu Dewi sambil becanda," Yang sebenarnya gak
ada megah-megahnya" .
"Baik, bu" Ujar Lina.
"Hati-hati lo, Lin. Orang asing, terutama Amerika sering jadi incaran
teroris. dan ibu dengar-dengar limapuluh persen dari mereka orang Amerika"
Jantung Lina berdegup kencang mendengar kata teroris, "Orang kulit putih, di
atas rel, valentine" Ia seperti pernah membaca kata-kata itu di secarik
kertas. L:ina kembali mengingat kata-kata itu melalui memori otaknya.
Akhirnya ia ingat, kata-kata itu pernah ia baca di selembar kertas di atas
meja Wisnu, "Valentine merah di atas rel untukmu putih".
"Merah? mungkinkah mereah adalah darah" Ucap hati Lina. "Mungkinkah
teroris-teroris itu akan meledakkan kereta api yang mengangkut oarang-orang
luar negeri?" Beribu tanda tanya berkecamuk dalam dada Lina.
Lina memandangi bendera Indonesia yang berdiri tegak di pojok ruangan.

*14 Februari 2003, Stasiun Kota*

Aku berjalan menuju stasiun melewati rumah-rumah di sekitar
pinggir rel, menerobos jalan kecil, dan menyelinap di antara pagar-pagar
kawat yang sudah mulai rusak. Aku berjalan di antara dua rel.
Langkah-langkahku terasa ringan. Ku tatap kota Jakarta dan seluk-beluk
kehidupan di dalamnya, "Selamat tinggal dunia...." Ujarku.

"Wisnu...!!! Hentikan!" Ku dengar suara seorang perempuan berteriak di
belakangku. Aku berbalik ke arah suara. "Lina!" Aku lihat dia di belakangku,
menyandang tas di pundaknya. Dia berlari ke arahku.
"Aku tahu kamu akan meledakkan bom di kereta api patas tujuan Bogor. Jangan
lakukan itu, Wisnu. Jangan....".
"Disana banyak orang-orang yang telah menindas saudara-saudaraku di Irak,
Bosnia. Darah di bayar dengan darah" Ujarku tegas.
" Tidak semua orang-orang asing yang berada di kereta itu seperti yang kamu
pikirkan, Wisnu. Mungkin diantara mereka ada juga yang muslim, yang sedang
memperjuangkan kedamaian. Di kereta itu juga banyak orang Indonesia, Wisnu".
Beberapa anak kecil yang menjajakan makana dan minuman, lalu ada juga yang
membawa gitar kecil berjalan melewati aku dan Lina.
"Dan mereka? Anak-anak miskin yang terpaksa bekerja untuk bertahan hidup"
Lina menunjuk gerombolan anak-anak yang berlarian menuju kereta, "Apa kamu
tega membunuh mereka?!".
"Aku harus menyelesaikan misiku. Setelah ini, semuanya akan berakhir".
"Wisnu, dengar aku" Lina menarik bajuku, "Yang kamu lakukan adalah salah.
Itu adalah tindakan pengecut. Apa Rasulullah pernah mengelabui musuh? Tidak.
Dia selalu jantan berhadapan dengan musuh, berdiri tegak di arena
peperangan. Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, seperti itulah jihad.
Menghancurkan musuh yang benar-benar musuh".
Ku dorong dada Lina, hingga ia mundur beberapa langkah. Kulihat matanya
berkaca-kaca. Lina menungkupkan tangannya di depan dada, "Di kereta itu juga
banyak saudara-saudaramu. Jangan renggut nyawa mereka, aku mohon....".

Aku diam. Telingaku menagkap suara deru kereta api yang makin
mendekat. Ku lihat kereta api yang datang dari Bogor bergerak makin
mendekat. Di belakangku kereta api Jakarta tujuan Depok menderu kencang. Aku
dan Lina berada di antara dua rel. Buru-buru ku peluk tubuh lina saat kedua
kereta melewati kami di samping kanan dan kiri, melindunginya dari gelombang
angin yang beradu karena arah yang berlawanan. Kurasakan angin kencang bagai
mengiris kulitku. Setelah kedua kereta lewat kulepaskan pelukanku.

Lina menatapku penuh arti, "Aku mencintaimu" Ujarnya setengah
berbisik.
Ku pandangi wajah Lina yang berbulir airmata dalam diam. "Aku juga
mencintaimu" Akhirnya kuakui perasaan ku padanya.
"Say yes to love, and say no to terorism" Ucapnya lagi.
Aku menggeleng, "Semuanya sudah terlambat" kataku.
"Tidak ada kata terlambat selagi kita mampu berusaha".
Ku buka tiga kancing kemejaku paling atas, dekat dada.
Lina terperanjat kaget melihat bom-bom yang melingkar di tubuhku. Lalu ku
tutup lagi tiga kancing yang tadi ku buka, "Tiga puluh menit lagi aku akan
meninggalkan dunia ini untuk selamanya".
"Lepaskan bom-bom itu dari tubuhmu. Aku akan menghubungi polisi untuk
menjinakkannya" .
"Sudah terlambat, Lina. Bom-bom yang sudah aktif ini tidak bisa dimatikan.
Biarkan aku pergi, aku tidak ingin mati sia-sia" Aku berbalik, berjalan
meninggalkannya.
"WISNUUU...! !!" Teriak Lina.
Aku yang sudah berjalan beberapa meter kembali berbalik melihatnya. Kulihat
Lina menodongkan pistol ke arahku.
"Cukup Wisnu, berjalan satu langkah lagi aku akan menembakmu!" .
Aku tersenyum, "Selamat Ulang tahun" Aku kembali berbalik, berjalan terus
tanpa menghiraukan teriakan-teriakkann ya yang memanggil namaku.
"WISNUUU.... ....!!!".
"Dorrr!" Kurasaka sesuatu menusuk leherku. Perih! Sakit! Nafasku seakan
terhenti! HItam....Gelap. ...Hening. ...

*14 Februari 2003, Sore hari*

Kulihat semua warna bercampur aduk, kemudian lenyap dan
membentuk satu bulatan cahaya berwarna putih. Cahaya putih itu memaksa
mataku yang tertutup rapat untuk terbuka. Aku pernah mengalami hal seperti
ini, berada di tempat yang serba putih. Kuraba leherku yang terasa sakit,
ada perban putih di plester menutup leherku bagian belakang.
Seorang suster masuk ke dalam kamarku. "Seorang perempuan menelpon ke rumah
sakit ini, katanya ada seorang laki-laki yang tertembak peluru bius di
lehernya. Sebenarnya peluru yang menancap di leher anda tidak terlalu
berbahaya, peluru itu hanya akan membuat anda kehilangan kesadaran selama
beberapa jam. Kami menemukan sepucuk surat dan sesuatu yang tertutup koran
di atas tubuh anda" Kata suster sambil menyerahkan sepucuk surat dan sesuatu
yang di tutup kertas koran padaku.
"Perempuan yang menelpon?" Tanyaku.
"Entahlah. Pekerja rumah sakit hanya melihat anda terbaring kaku di dekat
rel dengan hanya mengenakan celana jeans".
Aku meraba perutku, "Kemana bom-bom yang seharusnya menghancurkan tubuhku"
Pikirku.
Suster itu keluar. Buru-buru ku buka amplop surat.
*
Aku tidak menyesal berkorban demi tanah airku
Aku tidak menyesal jika memang harus kehilangan nyawaku
Karena aku telah memberikannya untuk negara dan untuk orang yang kucintai
Wisnu, Ku titip negaraku padamu
Jangan kotori tanah air ini dengan darah dan kekerasan
Sirami tanah air ini dengan cinta
Salam sayang untuk Sang Merah Putih

Herlina
*

Airmataku perlahan menetes. Kubuka bingkisan yang tertutup
koran, "Sang Saka Merah Putih" Ucapku saat melihat bendera Indonesia yang
telah di lipat dengan rapi. Mataku nanar memandangi kain berwarna merah
putih dalam genggaman tanganku. Aku berlari keluar kamar, terus berlari
menyusuri koridor-koridor rumah sakit. Langkahku terhenti saat melihat
presenter di sebuah televisi swasta membacakan berita.

"Pemirsa, ledakan bom tadi pagi di sungai Ciliwung masih menyisakan tanda
tanya. Ada saksi baru seorang polisi yang mengatakan bahwa dirinya sempat
mengikuti mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi, bahkan menerobos lampu
merah dan melanggar rambu-rambu lau lintas. Ketika sampai di sebuah jembatan
daerah Kalibata, pengemudi langsung menerjunkan mobilnya dan langsung
meledak dahsyat. Dua pohon di pinggir sungai tumbang karena ledakan yang
sangat besar. Menurut polisi yang mengikuti mobil itu, pengemudinya seorang
perempuan. Namun hingga saat ini ahli forensik belum bisa mencari tahu siapa
perempuan itu. Karena mayatnya hancur berkeping-keping. Tapi seseorang
menemukan tali rambut berwarna merah putih tersangkut di batu pinggir
sungai".

Seketika jantungku berdetak kencang. Airmata ini sudah tidak
bisa terbendung mendengar berita itu. "Aaaa....... !!!!" Aku berteriak
kencang, diiringi suara isak tangis yang menyumbat hidungku. Ku peluk erat
bendera merah putih di tanganku. Aku menangis sejadi-jadinya, inilah
tangisanku yang paling memilukan. Aku tak peduli orang-orang di rumah sakit
melihat dan memperhatikanku. Airmataku terus mengalir membasahi sang merah
putih dalam pelukanku.

*5 tahun kemudian,
17 Agustus 2008*

Pagi ini gerimis terasa mendinginkan tubuhku. Aku keluar rumah
dengan menggunakan seragamku yang berwarna hijau. Di atas kantong sebelah
kanan baju seragamku tertulis lengkap namaku, Letjen Teuku Wisnu. Kupandangi
bendera merah putih di depan rumahku yang terus berkibar tersibak angin.
Entah kenapa aku selalu menitikkan airmata saat melihat sang merah Putih
yang selalu berkibar di depan rumahku, mungkin karena suatu kenangan. Tiap
tanggal 17 Agustus, aku akan mempersembahkan hormatku yang pertama untuk
bendera ini sebelum bendera di Istana Presiden.

"Lina, aku sudah menepati janjiku. Menyirami Bumi Pertiwi ini dengan cinta.
Meski sampai saat ini aku belum mendapatkan cinta sejatiku, karena cinta
sejatiku telah tiada, dan itu adalah kamu. Penyesalan terbesar dalam hidupku
adalah diriku sendiri, kenapa aku harus ada di saat engkau tiada. Dan aku
berharap, kelak Tuhan akan mempertemukan kita kembali di dalam Surga-Nya.
Tunggu aku Lina..." Ku angkat tangan kananku untuk memberi hormat pada sang
Merah Putih, ku biarkan gerimis menitik di wajahku, ku anggap itu adalah
tangis kebahagiaan dan kebanggaan dari Lina. Dan lambaian merah putih yang
berkibar dengan gagahnya ku anggap lambaian tangan Lina yang sedang
tersenyum padaku.

0 Comments:

.:: Klik Iklan Di Bawah Ini ::.

klik iklan ini

Kolom Diskusi


Free chat widget @ ShoutMix